Membedah kecelakaan di Cipularang, antara human error dan bahaya laten

Selasa, 03 September 2019 | 15:59 WIB   Reporter: kompas.com
Membedah kecelakaan di Cipularang, antara human error dan bahaya laten


KECELAKAAN KENDARAAN - JAKARTA. Kecelakaan hebat kembali terjadi di Tol Purbaleunyi, tepatnya KM 91 arah Jakarta, sekitar pukul 12.30 WIB, Senin (2/9). Berdasarkan kabar terakhir, kecelakaan beruntun tersebut melibatkan 21 kendaraan yang menewaskan delapan orang.

Kecelakaan di ruas tol yang beken dengan nama Cipularang memang bukan yang pertama kali terjadi, terutama pada area Km 90 hingga Km 100. Tapi dari semua kejadian, insiden kali ini salah satu yang paling fatal karena melibatkan puluhan kendaraan yang melintas.

Ragam persepsi bermunculan yang mencoba untuk menafsirkan sebab dari kecelakaan beruntun tersebut. Mulai mengaitkan dengan kondisi tipografi jalan yang relatif berkelok dan menurun, permukaan yang tidak rata, hingga licin karena berpasir.

Baca Juga: Detik-detik kecelakaan beruntun Tol Purbaleunyi menurut kesaksian korban selamat

Jusri Pulubuhu, penggiat keselamatan berkendara yang juga pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting ( JDDC), menyebutkan, kondisi jalan di Cipularang sepanjang Km 90 sampai Km 100 memang cenderung rawan. Dan bisa dipastikan, penyebab awalnya tabrakan maut tersebut karena ada faktor human error.

"Perlu diingat, setiap kecelakaan beruntun pasti terjadi perbedaan tingkat kecepatan antara satu kendaraan dengan kendaraan lain di belakangnya," ujar Jusri kepada Kompas.com, Senin (2/9).

Faktor ketidaksiapan dari pengendara di belakang bisa karena banyak hal. Paling utama: pengendara tidak mampu menjaga jarak.

Baca Juga: Kecelakaan Cipularang, 21 Kendaraan Tabrakan Beruntun, 6 Tewas

Selain itu, penyebabnya juga bisa lantaran kebiasaan berkendara yang salah. Misalnya, menetralkan posisi tuas transmisi karena kebetulan ruas jalan sedikit landai.

"Contoh, terjadi perlambatan mendadak, seperti mengerem tiba-tiba dan lain sebagainya, yang membuat kendaraan di belakang tidak siap dan berakhir dengan terjadinya kecelakaan tadi. Ini kata kuncinya," kata Jusri.

Jusri sempat melakukan investigasi di lokasi yang sama beberapa tahun lalu. Karena memang, kecelakaan di area tersebut cukup sering terjadi bahkan bisa dibilang menjadi hal yang rutin.

Dari hasil evaluasi tersebut, menurut Jusri, rata-rata kendaraan yang melintas selalu berada pada kecepatan tinggi, baik mobil pribadi, bus, sampai truk sekalipun. Untuk kendaran bus dan truk, banyak sopir yang sengaja menetralkan tuas transmisi demi alasan efesiensi bahan bakar.

Baca Juga: Berikut kronologi lengkap kecelakaan di Purbaleunyi yang merenggut 8 nyawa

Tanpa disadari, apa yang para sopir lakukan tersebut sangat berakibat fatal. Pasalnya, dengan bobot yang besar dan hanya mengandalkan deselerasi dari rem, sudah tentu tidak akan bisa mengalahkan hukum fisika gaya gravitasi.

"Mobil kecil seperti kendaraan pribadi kebanyakan justru tancap gas. Kalau yang truk, alih-alih ingin irit maka transmisi dinetralkan, jadi kendaraan itu jalan saja cuma mengandalkan rem, harusnya saat turunan itu tuas transmisi tetap digunakan untuk menekan laju kendaraan," sebut Jusri.

"Dari hasil investigasi kecil-kecilan saya bersama tim lima tahun lalu, sangat banyak human error tersebut, jadi jangan dikaitkan dengan mistis, tapi meski memang di sana sangat kental. Fokus pada masalah human error lebih tepat, cari faktor why-nya, kan, sudah dijelaskan kalau mulainya itu akibat sebuah bus yang terpelosok, lalu berbuntut panjang," ucap Jusri.

Baca Juga: Daftar nama korban kecelakaan di jalan tol Purbaleunyi

Akumulasi dari human error tersebut, Jusri bilang, sejalan dengan faktor kontributor yang mengarah pada kondisi lingkungan di lokasi kejadian. Contohnya, kondisi jalan yang menurun yang membuat laju kendaraan bisa dipastikan cukup tinggi.

Setiap perubahan kecepatan yang ekstrem akan membuka peluang kecelakaan beruntun yang besar. Terlebih di jalur bebas hambatan seperti jalan tol.

"Faktor utamanya adalah kecepatan, diakumulasikan dengan kondisi jalan yang menurun, itu kendaraan yang larinya 100 km/jam momentumnya lebih dari 100. Jadi, meski mata memandang kondisinya seperti lambat, tapi dorongannya cukup berat, dari sini banyak faktor lain yang bisa dijabarkan, dari kemampuan cengkraman roda, daya pengereman, dan lain sebagainya," papar Jusri.

Penulis: Stanly Ravel

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kecelakaan di Cipularang, antara Human Error dan Bahaya Laten"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru