PEKANBARU. Kelangsungan industri kelapa sawit dan Provinsi Riau bakal terancam menyusul dikeluarkannya regulasi PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, serta Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau Saut Sihombing mengatakan aturan baru dari pemerintah dan Kemen LHK ini jelas berpengaruh pada kelangsungan bisnis sawit di Riau. Jika dipaksakan, regulasi baru tersebut bisa memukul industri sawit Riau yang banyak mengandalkan lahan gambut.
"Jika aturan itu dipaksakan, jelas akan berpengaruh pada kelangsungan bisnis kelapa sawit, termasuk di Riau ," katanya di Pekanbaru Rabu (19/4).
Salah satu beleid itu mengatur tentang pengelolaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter harus diubah statusnya menjadi hutan lindung.
Kondisinya di Riau, luasan lahan gambut daerah setempat mencapai 3,8 juta hektare, dan 75% di antaranya memiliki kedalaman di atas 3 meter.
Bila aturan dalam Permen LHK diterapkan, lahan gambut itu harus dikembalikan fungsinya menjadi hutan lindung.
"Di saat negara luar mengobok-obok industri kelapa sawit nasional, di dalam negeri malah ikut pula menyulitkan pengembangan sawit," katanya.
Di Riau, luas perkebunan kelapa sawit mencapai 3 juta hektare atau hampir separuh luas daratan provinsi itu. Dari total luas kebun sawit tersebut, 45% lahan sawit dimiliki masyarakat, 40% milik perusahaan, dan sisanya lahan petani plasma.
Dia meminta kepada pemerintah agar sama-sama mendukung pengembangan kelapa sawit nasional sebagai penopang perekonomian, bukan malah menyulitkan dengan beragam aturan yang ketat.
"Bila memang ada masalah dalam tata kelola sawit, mari sama-sama dibenahi bukan ditambah sulit dengan aturan baru," katanya.
Sementara itu, Guru Besar dari Universitas Riau, Prof Almasdi Syahza mengatakan regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang gambut sebenarnya bertujuan baik, yakni untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Hanya saja, poin dalam regulasi itu yang mengatur ketinggian muka air pada lahan gambut ditetapkan harus setinggi 40 centimeter (0,4 meter), akan sulit dipraktkan di lapangan.
Daerah di Riau yang mayoritas lahannya bergambut seperti Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Bengkalis, akan sulit mengembangkan daerahnya untuk bercocok tanam perkebunan.
"Tidak hanya sulit ditanami untuk kelapa sawit, untuk kelapa saja akan sulit, artinya semua komoditi yang menggunakan lahan gambut akan terdampak," ujarnya.
Khusus untuk kelapa sawit, luas lahan di Riau kini sudah lebih dari dua juta hektar, yang mayoritas dimiliki oleh petani rakyat.
Kelapa sawit memiliki dampak ekonomi ganda (multiplier effect) yang besar di Riau karena hampir semua lini kehidupan masyarakat telah diuntungkan dengan pengembangan komoditi ini.
Berdasarkan hasil penelitiannya, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di level petani, pendapatan petani sawit pada 2015 sudah mencapai 4.630 hingga 5.500 dollar AS per tahun.
Menurut dia, ekonomi Riau belum bisa lepas dari sawit karena telah memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di pedesaan, pedalaman, bahkan di perbatasan.
Dampak aktivitas tersebut terlihat dari indikator, salah satunya usaha tani kelapa sawit telah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan. "Saya katakan, aturan tentang gambut ini tidak bisa dipaksakan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News