Sementara itu, Guru Besar dari Universitas Riau, Prof Almasdi Syahza mengatakan regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang gambut sebenarnya bertujuan baik, yakni untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Hanya saja, poin dalam regulasi itu yang mengatur ketinggian muka air pada lahan gambut ditetapkan harus setinggi 40 centimeter (0,4 meter), akan sulit dipraktkan di lapangan.
Daerah di Riau yang mayoritas lahannya bergambut seperti Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Bengkalis, akan sulit mengembangkan daerahnya untuk bercocok tanam perkebunan.
"Tidak hanya sulit ditanami untuk kelapa sawit, untuk kelapa saja akan sulit, artinya semua komoditi yang menggunakan lahan gambut akan terdampak," ujarnya.
Khusus untuk kelapa sawit, luas lahan di Riau kini sudah lebih dari dua juta hektar, yang mayoritas dimiliki oleh petani rakyat.
Kelapa sawit memiliki dampak ekonomi ganda (multiplier effect) yang besar di Riau karena hampir semua lini kehidupan masyarakat telah diuntungkan dengan pengembangan komoditi ini.
Berdasarkan hasil penelitiannya, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di level petani, pendapatan petani sawit pada 2015 sudah mencapai 4.630 hingga 5.500 dollar AS per tahun.
Menurut dia, ekonomi Riau belum bisa lepas dari sawit karena telah memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di pedesaan, pedalaman, bahkan di perbatasan.
Dampak aktivitas tersebut terlihat dari indikator, salah satunya usaha tani kelapa sawit telah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan. "Saya katakan, aturan tentang gambut ini tidak bisa dipaksakan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News