PEKANBARU. Ekosistem gambut Indonesia telah mengalami kerusakan yang masif akibat pemanfaatan yang melebihi daya dukung dan daya tampungnya.
Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam konteks implementasi kebijakan, diperlukan kesamaan kerangka pikir dan tindakan guna mewujudkan keberlanjutan fungsi lindung dan budidaya ekosistem gambut.
Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem yang memiliki sifat dan karakteristik yang unik, sehingga membawa konsekuensi kompleksitas pengelolaannya. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa ekosistem gambut merupakan bagian penting dari lingkungan hidup yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik.
Komitmen untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP) nomor 57 tahun 2016 juncto PP nomor 71 tahun 2014.
Implementasi kebijakan tersebut mewajibkan untuk menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% dari seluruh luas KHG.
Peraturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari para pihak. Ada pihak, khususnya para pemerhati lingkungan, yang menyatakan bahwa peraturan ini sangat tepat, sehingga pemerintah harus secara tegas dan konsisten untuk menerapkannya.
Penerapan peraturan tersebut akan mampu melindungi hutan dan gambut, sebagai wujud investasi jangka panjang yang akan melindungi ratusan penduduk Indonesia dalam jangka panjang.
Di lain pihak, para pelaku bisnis, baik perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan maupun perkebunan, menyatakan bahwa penerapan peraturan ini akan berdampak negatif terhadap bisnis yang mereka jalankan. Lebih jauh lagi akan berdampak negatif terhadap perekonomian daerah, yakni menurunnya pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran (defisit neraca perdagangan dan kapital).
Mencermati kondisi tersebut, Universitas Riau melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Riau (LPPM-UR) berinisiatif untuk menaja Workshop dengan tema: Implementasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut: Optimalisasi Peran Stakeholders dalam Membangun Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Berkelanjutan.Workshop ini dilaksanakan selama 2 hari, 2-3 Mei 2017 di Pekanbaru, Riau.
Dr. Djaimi Bakce, SP, M.Si, Koordinator Pusat Studi Perkebunan, Gambut dan Pedesaan LPPM-UR, menyatakan bahwa pada tahun 2016 yang lalu LPPM-UR bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan Studi Penyusunan Model Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di Provinsi Riau dan Kabupaten Bengkalis.
Hasil kajian menunjukkan bahwa luas KHG di Provinsi Riau mencapai 5.004.727,71 Ha yang masuk dalam 59 unit KHG, dengan fungsi lindung seluas 2.223.093,93 (44,29%) dan 2.788.699,39 (55,71%) dengan fungsi budidaya. Implikasi kebijakan dari studi tersebut antara lain: (1) penguatan kelembagaan dan kebijakan RPPEG; (2) pemulihan tutupan lahan; (3) pola pemanfaatan yang tidak merusak ekosistem gambut; (4) pemulihan kondisi hidrologis ekosistem gambut; (5) penerapan teknologi maju dalam restorasi hidrologi lahan gambut; (6) pemulihan keragaman karakter ekologis ekosistem gambut; (7) pengembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat pada ekosistem gambut.
Ketua Panitia Workshop, Dr. Suwondo, M. Si sekaligus Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup LPPM-UR, menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi RPPEG yang telah yang disusun.
Adapun tujuan khusus dari workshop ini adalah: (1) Menghimpun informasi dan membangun komitmen bersama dalam upaya optimalisasi peran stakeholders dalam mewujudkan keberlanjutan Kesatuan Hidrologis Gambut, (2) Merumuskan strategi dan rencana aksi Perlindungan dan Pengelolaan Kesatuan Hidrologis Gambut, dan (3) Merumuskan rencana implementasi strategi dan rencana aksi Perlindungan dan Pengelolaan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Lebih lanjut Dr. Suwondo, menyatakan bahwa untuk memperoleh informasi yang holistic tentang perlindungan dan pengelolaan pada KHG maka sebelum workshop dilaksanakan fieldtrip pada salah satu KHG. Hal ini dilakukan agar peserta memperoleh informasi nyata tentang berbagai aspek perlindungan dan pengelolaan KHG dengan berbagai kompleksitas aktivitas yang terdapat di dalamnya.
Sehingga diperoleh suatu gambaran utuh dalam penyusunan strategi dan rencana aksi untuk KHG dimasa yang akan datang.
Pembicara dalam Workshop ini terdiri dari kalangan akademisi yaitu Prof. Dr. Ir. Azwar Maas, M.Sc, guru besar ilmu tanah dari Universitas Gajah Mada, kemudian Prof. Dr. Robiyanto Hendro S, M.Agr.S, guru besar ilmu tanah dari Universitas Sriwijaya, dan Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP, guru besar ekonomi pedesaan dari Universitas Riau.
Selain kalangan akademisi, pembicara juga berasal dari kalangan pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Restorasi Gambut, Kementerian Pertanian, dan kalangan pelaku usaha. Sementara itu peserta workshop adalah perwakilan dari dinas/instansi terkait, perguruan tinggi, penegak hukum, pelaku usaha, dan lembaga swadaya masyarakat.
Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP, selaku ketua LPPM Universitas Riau menegaskan diperlukan komitmen stakeholders terhadap pengelolaan KHG, sehingga fungsi lindung dan budidaya ekosistem gambut dapat dilakukan secara seimbang berkelanjutan.
Kegiatan workshop diharapkan menjadi wadah untuk mewujudkan komitmen bersama dan membangun sinergisme pada para pihak.
Secara teknis, implementasi PP 57/2016 dituangkan dalam PERMENLHK No. 14/2017,15/2017,16/2017,17/2017, serta KEPMENLHK No. 129/2017 dan 130/2017. Jika kebijakan ini diimplementasikan saat ini, akan menimbulkan dampak pada kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Sedikitnya 1.5 juta Ha (30% dari KHG) akan di alokasikan sebagai fungsi Lindung dan beberapa dampak yang dialami oleh Provinsi Riau antara lain sebagai berikut: (1) ketidakpastian hukum dan ketidakpastian berusaha yang akan berimbas pada turunnya investasi.
Kondisi ini akan berdampak terhadap penurunan PDRB Riau serta pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau dan Indonesia; (2) pengurangan tenaga kerja massal di sektor kehutanan dan perkebunan, yang pada akhirnya akan menjadi permasalahan sosial di Riau; (3) Apabila implementasi fungsi lindung diterapkan pada Kawasan Bukan Hutan (APL), maka sektor unggulan pemerintah Riau akan mengalami stagnasi dan terhambat pengembangannya.
Rektor Universitas Riau, Prof. Dr. Aras Mulyadi, mengingatkan bahwa para akademisi Universitas Riau harus bersikap bijak dalam menyikapi permasalahan ini.
Universitas Riau harus bisa menjadi mediator yang aktif dan arif sehingga workshop ini menghasilkan keluaran yang menyeimbangkan Perlindungan dan Pengelolaan KHG dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. (rls)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News