BALIKPAPAN. PT Kelian Equatorial Mining (KEM) akan mengakhiri seluruh aktivitas terkait pertambangannya di Kalimantan Timur di 2015 ini. Setelah beroperasi selama 45 tahun, perusahaan ini mengakhiri operasinya ditandai dengan pengembalian kawasan hutan yang dipinjamnya ke pemerintah.
“Kita akan menyerahkan kembali ke pemerintah di tahun ini. Hanya saja belum ada kepastian akan diserahkan kapan,” kata Goverment Relations Manager PT Rio Tinto Indonesia, Mochammad Chairul, Kamis (22/1).
KEM atau kerap disebut warga sebagai Kelian ini memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari pemerintah pada tahun 1992 dengan luas 6.750 Hektar (Ha). Izin itu berada dalam wilayah Kontrak Karya KEM itu sendiri dengan masa hingga 2022.
“Status hutan adalah hutan produksi. Kita pakai hanya 1.192 Ha,” kata Chairul.
Pasca penambangan, KEM mengubah kawasan hutan yang dipinjamnya menjadi hutan lindung. Hutan ini bahkan memperoleh ketetapan Menteri Kehutanan di SK No. 554/Menhut-II/2013. “Aktivitas rehabilitasi telah mencapai 100 persen. Bekas area pinjam pakai dialihkan menjadi hutan lindung. Kita kembalikan izin pinjam pakainya juga Kontrak Karya ke pemerintah di tahun ini,” kata Chairul.
KEM mengawali aktivitasnya di 1970. Perusahaan yang merupakan satu grup dengan perusahaan tambang Rio Tinto ini mengawali dengan eksplorasi selama 22 tahun. KEM memperoleh Kontrak Karya dari pemerintah di 1985, lantas menambang emas di 1992, dan mengakhiri produksi di 2005 pasca seluruh deposit habis.
Chairul mengatakan, sebelum berakhir produksi di 2005, KEM telah memulai kegiatan pengakhiran tambang sejak 1998. Kegiatan pengakhiran tambang ini berlangsung hingga 2015 ini.
Perjalanan panjang pengakhiran tambang ini termasuk di dalamnya adalah pembentukan Komite Pengarah Pengakhiran Tambang (KPPT) hingga pembentukan PT Hutan Lindung Kelian Lestari yang mengelola, mengawasi, dan memelihara hutan lindung Kelian. Rehabilitasi lahan, penguatan dam atau tanggul, hingga rehabilitasi air dengan proses alami.
Pihak KEM juga mengklaim telah menyelesaikan sekitar 2.000 klaim masyarakat yang menganggap terkena dampak akibat pertambangan emas selama ini. KEM mengalokasi Rp 60 miliar untuk menyelesaikan seluruh persoalan, mulai ganti rugi lahan, ganti rugi kehilangan mata pencaharian, hingga soal HAM yang dituduhkan. “Semua selesai di Desember 2007,” kata Chairul.
“Baru kami, perusahaan tambang yang menutup tambang secara komprehensif. Seluruh pihak terlibat dalam menutup kegiatan pertambangan,” kata Chairul.
Hutan Lindung
PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) menjadi penerus bagi pemulihan kawasan bekas tambang. HLKL ini menjadi penanggungjawab atas pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan hutan lindung Kelian nantinya. KEM telah menyediakan dana 11 juta dollar AS untuk pengawasan dan pemeliharan lingkungan bekas tambang dan 2,4 juta dollar AS untuk dana transisi masyarakat.
Dana ini ditempatkan di Singapura dalam bentuk Trust Fund. HLKL lah yang nanti mengelola bunga dari Trust Fund untuk program-program pengelolaan sebagaimana tanggung jawab sosial dan lingkungan yang akan dijalankannya.
“Saat ini kami baru menggunakan bunga dari dana US$ 2,4 juta untuk mengembangkan sekolah SMK pertanian dan beasiswa. Setelah semua telah diserahterimakan, maka dana (dari bunga) US$ 11 juta bisa digunakan,” kata Direktur HLKL Cornelia.
KEM mendirikan HLKL untuk melindungi, mengelola dan memantau hutan lindung di bekas lahan tambang. Untuk mengelola aset sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar tambang, KEM mendirikan Yayasan Anom Lio, dengan melibatkan masyarakat dari 22 kampung yang ada di sekitar tambang.
Wariskan masalah
LSM Jaringan Advokasi Tambang menilai KEM memiliki pekerjaan rumah tak terhitung yang belum diselesaikan. Bila Rio Tinto dan KEM benar angkat kaki dari Kaltim, maka banyak persoalan yang akan mendera warga sekitaran bekas pertambangan KEM.
Dinamisator Jatam, Merah Johansyah mengatakan, beberapa warisan yang akan ditinggalkan itu paling banyak adalah ganti rugi lahan yang belum selesai. “Ganti rugi yang belum selesai. Warga Kampung Tutung yang dipindahkan awal-awal itu sampai sekarang tidak punya status kepemilikan tanah. Mereka janji digusur, ditaruh di kampung Tutung, dijanjikan legalitas tanah. Ada buktinya. Tapi belum clear,” kata Merah.
Hal lain, menutur Merah, status hutan lindung Kelian masih terus dipersoalkan, fasilitas listrik di beberapa kampung, janji ekonomi berkelanjutan, hingga budidaya ikan di bekas lubang tambang. “Bagaimana dengan janji-janji mereka bila KEM benar angkat kaki. Belum lagi persoalan kasus HAM belum tuntas seutuhnya,” kata Merah.
Yang paling menjadi perhatian adalah keberadaan dua dam yang menahan 80 juta tailing. Jatam menilai dam di daerah yang disebut Namuk dan Nakan di hulu Sungai Kelian dan Sungai Nyuatan, yang mengalir hingga Sungai Mahakam. Dua dam ini memiliki luas 455 hektar dengan ketinggian 425 meter di atas permukaan laut. Kondisinya memiliki potensi bahaya.
“Dam bagaimanapun memiliki umur. Sampai berapa lama kekuatannya dan tetap memiliki resiko,” katanya.
Jatam menghimbau pemerintah harus lebih jeli bila benar nanti KEM menyerahkan kembali izin pinjam pakai hutan ke pemerintah. Jatam meminta pemerintah melakukan audit terhadap seluruh pasca tambang KEM. Merah mengingatkan, ada banyak perusahaan tambang bermasalah di soal pasca tambang.
Belakangan, pemerintahlah yang kemudian direpotkan karena harus mengurus pasca tambang dan dampaknya. “Karena itu pemerintah harus hati-hati terhadap pengakhiran tambang. Selama ini Rio tinto mengklaim tambang terbaik. Harus ada audit ketat keuangan hingga llingkungan hidup, dan semua pihak harus duduk bersama, termasuk di situ ada Rio Tinto. Kalau perlu KPK turun juga untuk terlibat,” kata Merah. (Dani Julius)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News