TEMBAKAU - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur (Kadin Jatim) mendesak pemerintah menghentikan dan membatalkan rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Rencana ini dinilai merugikan industri hasil tembakau (IHT) dan petani tembakau dan cengkih padahal kondisi ekonomi sedang sulit.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto menegaskan asosiasi bertugas melindungi industri dan petani, termasuk di sektor pertembakauan.
“Rencana revisi yang digulirkan pasti sangat merugikan mereka, maka kami meminta untuk dibatalkan saja. Tidak perlu ada revisi lagi, terlebih di saat pandemi Covid-19,” ujar Adik dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Menurut dia, sebenarnya berbagai aturan yang ada dalam PP 109/2012 sudah sangat mengakomodir tujuan menekan angka prevalensi perokok, termasuk oleh anak.
Baca Juga: Berdampak pada petani tembakau, Kementan minta revisi PP 109/2012 ditinjau ulang
Aturan tersebut antara lain larangan iklan rokok memuat gambar Kegiatan merokok, larangan menjual rokok kepada anak dan lain sebagainya. “Ini sudah jelas. Semua aturan mengarah untuk menekan angka prevalensi anak,” tandasnya.
Adik mengungkapkan, wacana revisi PP 109 juga didasarkan pada data yang simpang siur. Selama ini sejumlah pihak anti-rokok selalu memakai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 yang menyebut prevalensi merokok anak terus meningkat.
Menurut data yang ambil lima tahunan itu, prevalensi rokok penduduk usia 10-18 tahun naik menjadi 9,1% pada 2018 dari 7,2% di tahun 2013.
Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang berbasis Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahunan berbicara lain. Prevalensi perokok anak terus turun sejak 2018. Prevalensi rokok penduduk 10-18 tahun yang merokok tercatat 9,65 persen pada 2018 dan terus turun menjadi 3,87 persen (2019) dan 3,81 persen (2020).
Untuk tahun 2020, secara rinci anak berusia 10-12 tahun yang merokok sebesar 0,13 persen; 13-15 tahun (1,64 persen); dan 16-18 tahun (10,07 persen). Penurunan juga terjadi pada prevalensi merokok secara keseluruhan.
“Ini menjadi tidak jelas, mana sebenarnya yang benar. Masing-masing memiliki data sendiri. Tetapi kalau melihat data BPS sudah sangat jelas, sejak tahun 2018 jumlah perokok anak terus menurun. Artinya, PP 109 ini sudah cukup dan tidak perlu adanya revisi,” tegas Adik.
Terlebih lagi, kontribusi IHT terhadap penerimaan negara dari cukai juga sangat besar, bahkan menjadi pahlawan di masa pandemi Covid-19. Di saat penerimaan negara dari berbagai sektor ekonomi mengalami penurunan, penerimaan dari cukai hasil tembakau justru naik.
Baca Juga: Rencana Revisi PP Tembakau Menuai Pro dan Kontra
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan negara di sektor IHT tumbuh signifikan. Kontribusinya mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai di awal 2021. Sepanjang kuartal I/2021, realisasi penerimaan cukai Rp49,56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Adapun Cukai Hasil Tembakau mencapai Rp 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target.
“Jika revisi benar-benar dilakukan, ini bisa membunuh IHT dan petani dan pastinya penerimaan negara dari CHT akan tergerus. Ini yang harus dipahami, tidak hanya nasib IHT dan petani, ini juga soal nasib pemasukan negara kita,” tegasnya.
Adik mengakui, selama ini industri dan petani tidak pernah dilibatkan dalam penetapan aturan tersebut. Sehingga Kadin menilai, aturan itu dibuat secara sepihak dan terkesan memaksakan kehendak satu kelompok.
“Ini tidak baik karena negara kita berdasarkan demokrasi. Aturan yang dibuat harus mewakili kepentingan semua kelompok,” tandasnya.
Untuk itu, Kadin Jatim melalui Kadin Indonesia akan memberikan masukan kepada pemerintah pusat.
“Kita akan memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar memperhatikan nasib industri dan petani juga. Jangan kemudian penerimaan cukai rokok digenjot tetapi di sisi lain justru membuat aturan yang mematikan industri rokok,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News