Karhutla di Dumai dan Siak berkurang signifikan berkat restorasi gambut

Rabu, 09 Oktober 2019 | 17:22 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Karhutla di Dumai dan Siak berkurang signifikan berkat restorasi gambut

ILUSTRASI. Anak-anak berpose di area kebakaran lahan gambut di kawasan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (19/9/2019). Kota Banjarbaru kini berstatus darurat Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) karena paling terdampak Karhutla dan Satgas Karhutla


KEBAKARAN LAHAN - JAKARTA. Di balik kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau yang terjadi tahun ini ternyata ada kisah sukses dari Kota Dumai dan Kabupaten Siak. Kedua daerah tersebut secara signifikan berhasil mengurangi tingkat karhutla berkat program restorasi gambut.

Berdasar data yang dihimpun dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan tingkat kepercayaan 70%, pada puncak karhutla September lalu tercatat hanya ada satu titik panas di Dumai. Padahal, pada kejadian karhutla yang cukup parah di Juli 2015, BMKG mencatat ada enam titik panas terdeteksi di Dumai.

"Dumai menjadi contoh keberhasilan program restorasi gambut, dan membuktikan revitalisasi ekonomi berhasil mampu mencegah kebakaran hutan. Pengurangan drastis (karhutla) juga terjadi di Siak," kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead dalam keterangannya, Rabu (9/10).

Baca Juga: BMKG: Hari ini hujan lebat disertai petir berpotensi terjadi di 9 provinsi

BRG sebagai pemegang mandat restorasi, melakukan upaya rewetting, revegetasi, dan revitalisasi di lahan gambut Kota Dumai dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Setelah lahan gambut berhasil direstorasi, masyarakat pun diajak memanfaatkan lahannya agar tumbuh rasa memiliki area tersebut.

Menurut Nazir, tanaman yang dipilih untuk dimanfaatkan adalah tanaman pertanian. Seperti lahan di Desa Mundam, Kecamatan Kampai, yang pernah mengalami kebakaran sampai seluas 20 hektar, kini ditanami nanas oleh masyarakat setempat. 

"Inilah bentuk upaya revitalisasi lahan yang sudah direstorasi sebelumnya," ujarnya.

Di Desa Bukit Timah, Kecamatan Dumai Selatan, masyarakat juga dilibatkan dalam program revitalisasi ekonomi lahan gambut dengan budidaya lebah penghasil madu. 

"Lahan gambut bekas kebakaran, setelah direstorasi juga perlu dikembalikan nilai ekonominya. Supaya program restorasi bisa berkelanjutan dan lahan bekas kebakaran tak lagi dibakar," kata Nazir.

Baca Juga: DPRD DKI tak digaji 6 bulan jika tidak bisa sahkan APBD 2020 sebelum 30 November

Adapun di Siak, sebagai salah satu daerah yang memiliki lahan gambut terbesar di Sumatera, juga mengalami penurunan jumlah titik api cukup signifikan. 

Secara persentasi, titik api di Siak hanya sekitar 6%. Ini merupakan salah satu angka titik api yang paling rendah di Provinsi Riau.

Kabupaten yang 57% daerahnya adalah lahan gambut ini, pengelolaannya diiringi dengan upaya menjaga ketinggian permukaan air dan memastikan lahannya tetap produktif. Apalagi, tanaman-tanaman seperti sagu, kayu mahang, dan aren jadi andalan masyarakat di sana.

"Kami memastikan lahan agar tetap produktif dan memiliki nilai ekonomi, sekaligus memberikan pemahaman pertanian perkebunan tanpa mengeringkan lahan gambut," ujar Nazir.

Untuk menciptakan kisah yang lebih sukses di tempat lainnya, kata Nazir, diperlukan mengedepankan kesamaan visi antara pemerintah provinsi, pemerintah daerah, serta kementerian terkait dalam mengupayakan restorasi lahan gambut berkelanjutan. 

Baca Juga: Bermodal tusuk gigi, pencuri ini membobol ATM hingga lebih dari Rp 700 juta

Termasuk pentingnya membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) oleh gubernur yang daerahnya masuk sebagai prioritas restorasi.

"Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam upaya restorasi, ke depan memang sudah selayaknya ada satuan kerja BRG di daerah. Namun, saat ini TRGD sudah cukup sebagai perpanjangan tangan BRG dalam upaya menyamakan visi restorasi bersama," kata Nazir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru