Perda kawasan tanpa rokok (KTR) Bogor digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Kamis, 06 Februari 2020 | 22:17 WIB   Reporter: Arfyana Citra Rahayu
Perda kawasan tanpa rokok (KTR) Bogor digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)

ILUSTRASI. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (ketiga kiri) bersama majelis hakim lainnya bersiap memimpin sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/1/2020). Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah mene


ROKOK - JAKARTA. Sejumlah pedagang di Bogor mengajukan gugatan (judicial review) terhadap Perda KTR Bogor yang telah dilayangkan pada 5 Desember 2019 dan sudah tercatat dengan Nomor Perkara 4P/HUM/2020.

Uji materi ini menjadi sebuah langkah akhir dan mendesak untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan para pemohon, pemangku kepentingan dan pihak yang terdampak lainnya.

Baca Juga: Apindo menilai Perda KTR Bogor berbahaya bagi iklim investasi

Seperti diketahui, industri hasil tembakau menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) senilai Rp 43,6 miliar sepanjang 2019, kendati di satu sisi peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok di daerah ini menekan hak berusaha pedagang.

Muaz HD, anggota DPRD Kota Bogor yang juga yang merupakan salah satu anggota Pansus Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Bogor mengapresiasi langkah para pedagang yang melakukan gugatan.

"Pedagang melakukan hak konstitusi mereka, saya pribadi senang, karena bukan lewat jalur-jalur yang menjurus chaos," ujar Muaz dalam keterangan tertulis, Kamis (6/2).

Baca Juga: Pedagang tradisional di Bogor gugat Perda kawasan tanpa rokok ke Mahkamah Agung

Dia menuturkan pada prinsipnya Perda KTR ini bukan lahir dari pandangan anti rokok, melainkan mengatur tempat atau fasilitas bebas rokok yang belum dipenuhi Pemkot Bogor.

"Memang  di sisi lain harus menyediakan tempat bagi perokok,” kata Muaz.

Anggota legislatif dari Fraksi PKS ini pun membocorkan bahwa DPRD Kota Bogor juga akan melaksanakan Pansus Pencabutan Perda.

Harapannya perda-perda yang selama ini justru mengundang polemik dan meresahkan masyarakat dapat dievaluasi. “Saya memahami keresahan, ketakutan dan efek yang ditimbulkan.

Baca Juga: Kemendagri tindaklanjuti peraturan daerah penghambat investasi

Mudah-mudahan ke depan, apa yang dihasilkan legislatif bisa berjalan semakin selaras dengan kebutuhan masyarakat,” kata Muaz.

Regulasi ini dianggap oleh sejumlah pedagang menekan hak berusaha, hak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti yang dirasakan Wahono, salah satu pedagang di Bogor yang turut andil mengajukan judicial review.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi menyanggah pernyataan Pemerintah Kota Bogor yang sebelumnya menyebutkan bahwa PAD Kota Bogor semakin naik semenjak penerapan Perda KTR.

“Asumsi soal PAD tersebut, menurut pendekatan ilmiah adalah keliru. PAD ini kan banyak unsurnya. Pertumbuhan pajak per sektor industri harus dirunut. Ada beberapa faktor yang menentukan PAD itu tumbuh signifikan atau tidak,” papar Gandhi.

Baca Juga: Temukan 347 perda bermasalah, ini rekomendasi KPPOD ke pemerintah pusat & daerah

Gandhi menjelaskan, alur perhitungan memiliki beberapa aspek yang harus dicermati. Ia mencontohkan, kebijakan pemerintah pusat seperti amnesti pajak, juga memberi sumbangsih terhadap PAD Bogor.

Begitu juga sektor pariwisata Bogor yang dinilai semakin meningkat dan berkontribusi terhadap PAD Bogor.

“Jadi, pemerintah jangan mengeluarkan pernyataan yang sekadar asumsi, yang kemudian membentuk opini dan persepsi yang keliru di tengah masyarakat,” kata Dosen Departemen Ekonomi dan i dan Sumber Daya dan Lingkungan ini.

Baca Juga: Pembahasan perda KTR harus melibatkan para pemangku kepentingan

Dari sisi hukum, Ali Ridho, pengamat hukum dari Universitas Trisakti menambahkan Perda KTR Bogor secara material dan formil, mengundang kebingungan. Ada satu pasal yang menekankan bahwa penanggungjawab tempat umum berkewajiban menyediakan kawasan tanpa rokok.

Namun di pasal lain, tidak ditemukan konsekuensi atau persyaratan lain setelah kewajiban tersebut dipenuhi.

Adapun hal lain yang mengundang pertanyaan adalah siapa yang menetapkan KTR ini, sebab di dalam perda disebutkan, pelaksananya adalah daerah.

"Bagaimana peraturan mau dilaksanakan jika tidak ada unsur orangnya. Harusnya ditulis Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota, atau DPRD,” tutup Ridho.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Yudho Winarto
Terbaru