INDUSTRI ROKOK - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berharap Mahkamah Agung (MA) dapat mengabulkan gugatan pedagang tradisional terhadap Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor.
Peraturan yang bertentangan dengan berbagai kebijakan tersebut dinilai akan berbahaya bagi kepastian investasi dan bisnis di Indonesia.
Baca Juga: Target penerimaan pajak tahun ini naik 23,3%, DPR: Jangan tekan pengusaha
Direktur Eksekutif APINDO, Danang Girindrawardana menjelaskan terdapat inkonsistensi regulasi yang termuat dalam Perda KTR Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 Pasal 16 Ayat 2 yang memuat larangan pemajangan (display) rokok seperti gugatan yang disampaikan oleh Pedagang.
“Regulasi di pusat tidak ada pelarangan display produk rokok, yang ada adalah mengatur iklan dan promosi. Ini inkonsistensi dan sangat berbahaya bagi iklim investasi karena akan mengacaukan dunia industri dan konsumen,” kata Danang dalam siaran persnya, Sabtu (1/2).
Dampak terbesar yang timbul dari peraturan bermasalah tersebut akan dirasakan para pedagang kecil dan pengasong eceran yang akan kehilangan pekerjaannya. Gangguan terhadap rantai distribusi juga akan berimbas terhadap keberlangsungan industri dan petani tembakau.
Akibatnya, bukan hanya pedagang dan peritel yang terimbas, namun potensi pengurangan tenaga kerja juga akan menimpa industri dan petani tembakau sebagai bagian dari rantai produsen.
Baca Juga: Pemberian fasilitas tax allowance dinilai belum efektif tarik investasi, ini sebabnya
Persoalan akan semakin rumit manakala Perda KTR Bogor yang bermasalah menjadi acuan pemerintah daerah lain menetapkan kebijakan sejenis. Akibatnya, efek berantai yang ditimbulkan akan semakin luas.
Jika seluruh industri hasil tembakau hancur, pemerintah juga berpotensi kehilangan pendapatan negara dari rokok yang kini menjadi penyumbang terbesar penerimaan cukai nasional.
Danang menegaskan, pemerintah pusat tidak boleh membiarkan begitu saja keberadaan berbagai aturan di daerah yang bermasalah, termasuk Perda KTR. Pemerintah pusat, kata Danang, harus turun tangan melakukan advokasi ke daerah untuk tidak menghasilkan regulasi yang bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Baca Juga: Ini Pandangan Pebisnis dan Pekerja atas RUU Cipta Lapangan Kerja
Pembiaran terhadap perda yang melanggar dinilai akan menghilangkan kedaulatan pemerintah pusat, karena seolah mereka kehilangan kewenangan mengontrol pemerintah daerah. “Padahal kita punya sistem ketatanegaraan dimana pemerintah pusat memiliki kewajiban membina pemerintah daerah,” kata Danang.
Kewajiban pembinaan tersebut terletak pada Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dilakukan melalui konsultasi atau advokasi terhadap rancangan perda. Rancangan Perda yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat semestinya bisa ditolak sejak awal.
Menurut Danang, peraturan yang terlalu segmented di daerah akan membuat iklim usaha tidak sehat. Akibatnya, perkembangan investasi baik yang baru maupun sedang berjalan akan terganggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News