Mengkhawatirkan, kasus Covid-19 di Depok melonjak 4 kali lipat dalam 2 bulan

Rabu, 16 September 2020 | 07:40 WIB Sumber: Kompas.com
Mengkhawatirkan, kasus Covid-19 di Depok melonjak 4 kali lipat dalam 2 bulan

ILUSTRASI. Warga melintas di depan mural tentang COVID-19 di Pangkalan Jati Baru, Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.


VIRUS CORONA - DEPOK. Kota Depok kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, hingga kini, Depok masih berstatus sebagai wilayah dengan total laporan kasus positif Covid-19 tertinggi di Jawa Barat dan wilayah Bodetabek, berdasarkan laman resmi masing-masing pemerintah kota/kabupaten. 

Hingga data diperbarui kemarin, Selasa (15/9/2020), total ada 2.990 kasus positif Covid-19 yang sudah dilaporkan Pemerintah Kota Depok. Sebanyak 2.027 di antaranya dinyatakan pulih, sedangkan 107 lainnya meninggal dunia. Itu artinya, saat ini ada 856 kasus aktif di Depok. 

Kasus aktif merupakan jumlah pasien yang sedang ditangani lantaran positif Covid-19. Mereka menjalani isolasi mandiri di rumah atau dirawat di rumah sakit.

Masalahnya, jumlah 856 pasien ini merupakan hasil dari lonjakan demi lonjakan di Depok. Lonjakan terbaru yakni kemarin, ketika Pemerintah Kota Depok melaporkan temuan kasus baru terbanyak selama pandemi, yakni 124 pasien. 

Baca Juga: Inilah 93 RW zona merah corona di Depok hingga 23 September 2020

Berdasarkan laporan harian Pemerintah Kota Depok yang dihimpun Kompas.com, angka kasus aktif di Depok hari ini sudah naik 438%, atau lebih dari 5 kali lipat, dalam kurun 2 bulan terakhir. Sejak Agustus hingga kini memasuki minggu ketiga September, jumlah pasien Covid-19 di Depok terus melonjak dengan sangat cepat. Berikut rinciannya: 

15 Juli: 159 pasien 
31 Juli: 187 pasien (+28) 
15 Agustus: 381 pasien (+194) 
31 Agustus: 594 pasien (+213) 
15 September: 856 pasien (+262) 

Baca Juga: Kasus corona di Depok masih meningkat, Sawangan alami kenaikan pasien terbanyak

Dari data di atas dapat disimpulkan, terjadi lonjakan total 697 pasien dalam kurun 2 bulan, yakni sejak 15 Juli (159 pasien, titik terendah selama pandemi) hingga kemarin, 15 September (856 pasien, puncak tertinggi pandemi sampai sekarang).

Sayangnya, tidak diketahui lonjakan ini akibat penularan yang semakin membahayakan atau deteksi yang semakin masif. Sebab, Pemerintah Kota Depok tak pernah terbuka dalam mengumumkan realisasi jumlah tes PCR harian. 

Rumah sakit menjerit 

Entah akibat penularan yang semakin tinggi atau deteksi yang semakin gencar, faktanya jumlah pasien Covid-19 di Depok meningkat pesat. Kondisi ini terasa betul di beberapa rumah sakit rujukan sebagai hilir penanganan pandemi. “Kami juga tidak menyangka kondisinya seperti ini. Kami kira, sudah mulai menurun. Semuanya merasa ini beban yang berat, yang harus dipikirkan secara cepat jalan keluarnya,” ujar Direktur RSUD Kota Depok, Devi Maryori kepada Kompas.com, Jumat (11/9/2020). 

“Kita kemarin-kemarin sudah tenang. Mendadak seperti banjir bandang di mana-mana,” tambahnya mengenai lonjakan pasien Covid-19 di Depok belakangan ini.

RSUD Kota Depok sempat mengurangi jumlah tempat tidur khusus pasien Covid-19 dari 150 ranjang menjadi 48 ranjang selama Mei hingga Juli lalu. Kala itu, tren penularan Covid-19 di Depok memang sedang landai dan jumlah pasien sempat ada di titik terendah. Namun, sejak bulan Agustus, 55 tempat tidur yang disiapkan untuk pasien Covid-19 hampir selalu penuh. 

Baca Juga: Kota Bekasi bakal terapkan jam malam, tiru Depok dan Bogor

Sudah begitu, pasien bergejala sedang dan berat semakin banyak berdatangan. Kini, pihaknya tengah mencari cara agar jumlah tempat tidur itu dapat segera bertambah. Devi juga berencana menambah jumlah ICU Covid-19 yang saat ini sudah penuh, tetapi menemui rintangan soal ketersediaan perawat ICU Covid-19 yang harus kursus kompetensi khusus sedikitnya 3 pekan sebelum turun lapangan. 

Kondisi ini juga dialami di RS Universitas Indonesia, salah satu dari segelintir rumah sakit tipe B di Depok yang terpaksa menyeleksi pasien yang berdatangan. Ketersediaan ICU dan HCU juga terus menipis, namun tak mudah untuk menambahnya dalam waktu singkat. 

Baca Juga: Respons PSBB Jakarta, Ridwan Kamil putuskan Bogor, Depok dan Bekasi terapkan PSBM

“Kita punya ICU mungkin bisa dikembangkan sampai 30 ventilator, karena kita punya alatnya, tetapi kita tidak punya tenaganya. Menyiapkan tenaga yang bisa pegang ventilator, pegang ICU, itu kan tidak murah, tidak gampang, dan tidak dalam waktu yang sebentar,” jelas Manajer Pelayanan Medik RS UI, Rakhmad Hidayat dalam program Mata Najwa, Rabu pekan lalu. 

Tingginya jumlah pasien Covid-19 di suatu wilayah dikhawatirkan akan membebani kemampuan fasilitas kesehatan. Semakin banyak pasien, maka semakin banyak sumber daya dan tenaga kesehatan yang perlu dikerahkan untuk memantau, menangani, dan merawat mereka. 

Pertimbangan ini pula yang membuat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memilih kembali menerapkan PSBB total di Ibu Kota pada Rabu lalu. Pemprov DKI Jakarta memproyeksikan, rumah sakit di Jakarta akan kolaps pada pertengahan September atau awal Oktober, jika tidak ada pengetatan aktivitas publik maupun penambahan kapasitas rumah sakit. 

Namun, tak seperti DKI Jakarta, Kota Depok belum berencana kembali ke kebijakan PSBB total, meskipun tanda-tanda rumah sakit mulai keteteran perlahan terlihat ke permukaan. "Kami hitung seluruh rumah sakit. Ada 9 rumah sakit rujukan di Depok, itu kapasitasnya kalau yang (untuk pasien Covid-19 bergejala) ringan terisi 63 persen, yang (bergejala) sedang terisi 81 persen," ujar Wali Kota Depok, Mohammad Idris, kepada wartawan pada Senin (14/9/2020). 

"Yang (untuk pasien Covid-19 bergejala) berat memang sudah (terisi) 100 persen. Itu yang ICU dan perlu oksigen segala macam," kata dia. 

Baca Juga: PSBB diperketat, Aprindo berharap mall dan peritel modern tak ikut ditutup

Kepala Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Depok, Alif Noeriyanto juga mengungkapkan fenomena serupa. Saat ini, rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 di Depok memang masih dapat menampung pasien, namun kapasitasnya semakin tipis.

Jika tren pertumbuhan kasus Covid-19 di Depok tak melandai, maka suatu hari rumah sakit akan penuh oleh pasien Covid-19. "Hingga saat ini memang masih bisa ditangani, tetapi rata-rata BOR (bed occupancy rate atau tingkat keterisian tempat tidur) sudah di atas 80 persen di rumah sakit," ujarnya kepada Kompas.com, Senin. 

"Kalau memang sekarang banyak yang positif, kita harus menyiapkan back-up plan (rencana cadangan) untuk isolasi pasien pasien. Ini yang memang harus dipikirkan lebih lanjut. Sekarang ini yang kami khawatirkan soal angka yang cukup meningkat signifikan," tambah Alif. 

Baca Juga: Jakarta ada PSBB lagi, begini ketentuan dan jadwal operasional KRL

Kemarin, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuka peluang agar dilakukan redistribusi pasien Covid-19 antara wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi. Dalam hal ini, jika rumah sakit di Depok sudah penuh sedangkan ada rumah sakit katakanlah di Bogor yang lowong, maka pasien Covid-19 di Depok dapat direlokasi ke Bogor. 

Langkah Pemkot Depok Wali Kota Depok, Mohammad Idris mengklaim, peningkatan kasus aktif Covid-19 di wilayahnya disumbang oleh kasus-kasus yang berasal dari luar Depok alias kasus impor. Sejak pertengahan Agustus 2020, kasus impor disebut menyumbang lebih 70% temuan kasus baru. Sisanya adalah penularan secara lokal, umumnya di wilayah tempat tinggal. 

Untuk menekan penularan kasus impor, Idris menerbitkan beberapa kebijakan yang keberhasilannya bergantung pada kesadaran masing-masing individu. Salah satunya yakni surat edaran berupa daftar protokol yang perlu dilakukan ketika pulang ke rumah Ia kemudian mengaktifkan kembali Kampung Siaga Covid-19 di 924 RW dengan guyuran dana Rp 2 juta per RW. 

Baca Juga: Corona lampaui 200.000, epidemiolog: Ubah strategi atau hal terburuk bisa terjadi

Kampung Siaga diharapkan mampu melakukan pendataan lokasi kerja warga, mengawasi keluar-masuk tamu, dan menjadi pemantau di tingkat paling lokal. Namun, saat ini, 1 dari 10 RW di Depok tercatat menjadi RW zona merah, karena lebih dari 2 warganya positif Covid-19 dan melakukan isolasi mandiri di kediamannya. 

Dengan harapan menekan penularan wabah di wilayah tempat tinggal, Idris mulai kemarin memberlakukan kebijakan “pembatasan aktivitas warga” yang menyerupai jam malam. Kebijakan ini akan berlaku setiap kali Depok ditetapkan sebagai zona merah penularan Covid-19 nasional. 

Melalui kebijakan anyar tersebut, toko, supermarket, minimarket, rumah makan, kafe, dan mal tutup pukul 18.00 WIB. Di luar itu, aktivitas warga hanya diizinkan hingga 20.00 WIB.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Covid-19 Depok yang Kian Mengkhawatirkan, Melonjak 4 Kali Lipat dalam Waktu 2 Bulan"
Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Jessi Carina

 

Selanjutnya: Hati-hati! Pelanggar jam malam Depok bisa kena denda Rp 10 juta

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 4 Tampilkan Semua
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Terbaru