Dimulai dari hadirnya suasana ketuhanan dalam setiap sendi kehidupan kota.
Indonesia bukanlah negara yang berdasar satu agama, namun Indonesia juga bukan
negara sekuler. Ketuhanan, selayaknya menjadi landasan kehidupan warga.
Prinsip ketuhanan ini kemudian harus diwujudkan pula dengan hadirnya rasa
kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa ada yang terpinggirkan,
terugikan, apalagi tidak dimanusiakan dalam kehidupannya.
Perjuangan selanjutnya adalah memperjuangkan persatuan dalam kehidupan kota,
tak hanya merayakan keragaman. Ada sebuah pepatah Aceh yang bermakna, “Cilaka
rumah tanpa atap, cilaka kampung tanpa guyub.” Persatuan dan keguyuban ini yang
harus terus kita perjuangkan, dimulai dari meruntuhkan sekat-sekat interaksi antar
segmen masyarakatnya, terutama pemisahan ruang interaksi berdasar kemampuan
ekonomi.
Dalam mewujudkan semua prinsip itu, dialog dan musyawarah harus diutamakan
melalui mekanisme majelis-majelis perwakilan warga yang dilibatkan dalam setiap
pengambilan kebijakan. Musyawarah diutamakan untuk menghasilkan kesepakatan
dan kesepahaman. “Tuah sakato,” kata orang Minang. Dalam kesepakatan berdasar
musyawarah itu terkandung tuah kebermanfaatan.
Dan di ujungnya, namun menjadi yang terpenting, kita perjuangkan hadirnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jakarta. Karena hadirnya keadilan sosial ini akan
menjadi parameter utama terwujudnya semangat Pancasila di kota ini. Seluruh aspek
dan alat pembangunan kota haruslah ditujukan untuk menghadirkan keadilan sosial
bagi warga. Termasuk APBD, jelas harus mencerminkan keberpihakan kepada
mereka yang belum merasakan keadilan sosial.