Ini dia beda transparansi anggaran DKI Jakarta era Ahok dan Anies

Jumat, 01 November 2019 | 05:30 WIB   Reporter: kompas.com
Ini dia beda transparansi anggaran DKI Jakarta era Ahok dan Anies


ANGGARAN - JAKARTA. Sistem penganggaran milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah mendapat penghargaan sebagai salah satu inovasi perencanaan terbaik di Indonesia. Pada April 2017, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan predikat tersebut.

Inovasi perencanaan maksudnya: sistem penganggaran dengan e-budgeting, e-planning, e-musrenbang, dan e-komponen. Sistem ini mulai Pemerintah DKI perkenalkan ketika Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Sistem tersebut akhirnya Pemerintah DKI gunakan saat Basuki atawa Ahok menjadi gubernur. Dengan e-budgeting, semua perencanaan penganggaran diinput secara digital ke dalam sistem.

Setiap perubahan angka yang terjadi akan terekam, lengkap dengan informasi identitas pengubahnya. Siapa saja yang melakukan mark up anggaran, pasti bisa diketahui orangnya.

Baca Juga: Anies salahkan sistem zaman sebelumnya, ini komentar menohok dari Ahok

Sistem e-budgeting di DKI juga membuat perencanaan anggaran masuk ke detail komponennya sejak awal. Komponen yang detail ini sering disebut dengan satuan ketiga.

Katakanlah, ada sebuah program pelaksanaan festival musik tahun baru yang dimasukkan dalam sistem e-budgeting. Anggaran untuk program itu tidak bisa hanya ditulis totalnya, misalnya Rp 100 juta.

Tapi, harus lengkap dengan komponen atau satuan ketiganya, seperti biaya panggung, lampu, dan pengisi acara. Dengan begitu, anggaran sebuah program bisa diukur wajar atau tidaknya.

Pada 2017, menjelang akhir masa jabatan Djarot Saiful Hidayat sebagai gubernur, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan apresiasinya terhadap sistem ini. Pimpinan KPK yang datang ke Balai Kota saat itu, Basaria Pandjaitan, berharap, sistem ini terus digunakan pada periode selanjutnya dalam kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Baca Juga: Djarot sebut kesalahan input APBD DKI bukan salah sistem, tapi SDM yang bodoh

Transparansi anggaran

Salah satu nilai plus sistem ini, masyarakat bisa melihat prosesnya melalui situs apbd.jakarta.go.id. Lewat situs itu, perencanaan anggaran bisa publik lihat sejak tahap perencanaan.

Setiap tahun, berbagai anggaran aneh terungkap. Sebut saja anggaran ratusan juta rupiah untuk revitalisasi kolam air mancur di Gedung DPRD DKI yang masuk ke perencanaan anggaran dua tahun berturut-turut, pada 2017 dan 2018.

Anggaran itu pun dicoret dua kali selama pembahasan karena derasnya protes warga. Dan itu baru satu. Beberapa program lain yang anggarannya tak wajar juga viral dan akhirnya dibatalkan.

Anggaran itu bisa diawasi karena Pemerintah DKI telah mengunggah rancangan anggaran yang bernama Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) ke dalam situs APBD.

Untuk lebih memahami ini, ada baiknya mengetahui alur penganggaran secara umum. KUA-PPAS berisi rancangan program hasil musrenbang di tingkat masing-masing kota dan kabupaten di Jakarta.

Baca Juga: Anies salahkan sistem hingga gubernur terdahulu terkait anggaran jadi-jadian di RAPBD

Tim Anggaran Pemerintah Daerah menyusun KUA-PPAS yang isinya berasal dari Pemerintah DKI. Pada 2016, 2017, dan 2018, draft KUA-PPAS yang berada dalam tahapan ini langsung diunggah di situs apbd.jakarta.go.id.

Setelah KUA-PPAS selesai disusun dan diserahkan ke DPRD DKI, pembahasan pun dilakukan. Rancangan anggaran yang disusun sebelumnya pun sangat mungkin berubah, mengikuti dinamika dalam rapat anggaran antara eksekutif dan legislatif.

Program yang anggarannya dinilai terlalu besar bisa dikurangi, sedangkan yang dinilai tak perlu juga bisa dicoret. Setelah pembahasan KUA-PPAS selesai, dibuat semacam MoU antara Gubernur DKI dan Ketua DPRD.

Kesimpulan pembahasan ini biasanya berupa berapa total APBD pada tahun berikutnya, nilai belanja, dan pendapatannya. Dalam tahap ini, KUA-PPAS setelah pembahasan biasanya akan diunggah kembali ke situs apbd.jakarta.go.id.

Baca Juga: KPK angkat bicara soal anggaran lem aibon Rp 82 miliar yang jadi polemik

Dengan begitu, masyarakat bisa membandingkan seperti apa rencana anggaran sebelum dan sesudah dibahas dengan DPRD. Pembahasan anggaran akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan APBD (RAPBD).

Draft RAPBD yang telah disahkan bersama DPRD DKI juga akan diunggah ke dalam situs. Selanjutnya, RAPBD yang sudah disahkan menjadi APBD itu akan dikirim ke Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi. Nantinya, hasil evaluasi akan diunggah kembali.

Tahun ini berbeda

Sampai dengan tahun 2018, semua draft di setiap tahapan penganggaran itu masih rutin diunggah satu per satu ke dalam situs apbd.jakarta.go.id. Situasinya mulai berbeda untuk anggaran tahun 2019.

Dalam situs yang diakses pada Rabu (30/10) malam, draft yang diinput ke dalam situs adalah RKPD, KUA-PPAS hasil pembahasan bersama DPRD DKI, APBD, dan APBD Perubahan. Tidak ada draft KUA-PPAS versi sebelum pembahasan DPRD DKI Jakarta.

Rancangan anggaran untuk 2020 lebih parah lagi. Tidak ada satu pun rencana anggaran untuk tahun 2020 yang diunggah ke dalam situs tersebut. Padahal, saat ini Pemprov dan DPRD DKI Jakarta sedang melakukan pembahasan KUA-PPAS.

Perbedaan ini juga dibenarkan Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono. Adapun Gembong merupakan salah satu anggota dewan yang mengikuti pembahasan anggaran para periode pemerintahan sebelumnya dan sekarang.

"Sekarang Pak Anies merasa karena belum ada pembahasan dengan DPRD, maka info itu tidak disampaikan ke publik," kata Gembong ketika dihubungi Kompas.com.

Baca Juga: PSI: Gubernur DKI terkesan tak peduli dengan kejanggalan usulan anggaran

Ternyata, ini memang merupakan keinginan Anies Baswedan. Anies mengaku khawatir draft KUA-PPAS yang belum disepakati dengan DPRD DKI hanya akan menimbulkan kehebohan.

"Justru karena ada masalah-masalah seperti ini yang menimbulkan keramaian, padahal tidak akan dieksekusi," ujar Anies di Balai Kota, Jakarta, Rabu (30/10). Anies baru akan mengunggah draft tersebut setelah Pemerintah DKI dan DPRD  menyelesaikan pembahasan anggaran.

Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengetahui rencana anggaran yang tak wajar dari anggota DPRD DKI. Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi yang paling sering menyebarkannya.

Sebut saja, anggaran lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar, bolpoin sebesar Rp 124 miliar, dan komputer sebesar Rp 121 miliar. Sistem yang disalahkan Anies tidak ingin mengunggah rencana anggaran yang belum disahkan.

Baca Juga: Anggaran lem Aibon Dinas Pendidikan DKI untuk murid Rp 82,8 miliar, kok bisa?

Itu artinya, masyarakat hanya akan mengetahui program apa saja yang akan dikerjakan Pemerintah DKI setelah pembahasan selesai. Tak ada ruang untuk mengkritik dan memberi masukan.

Selain soal transparansi anggaran, Anies juga berbicara tentang sistem e-budgeting itu sendiri. Menurutnya, sistem digital ini tidak smart karena masih mengandalkan penelusuran manual untuk pemeriksaannya.

Anies juga mengkritik soal rancangan yang terlalu detail sampai satuan ketiga. Dia memberi contoh program pentas musik dengan nilai anggaran Rp 100 juta.

Dalam sistem e-budgeting, anggaran tersebut harus diturunkan dalam bentuk komponen. Menurut Anies, rancangan anggarannya tidak perlu detail sampai pada satuan ketiga terlebih dahulu karena itu yang akan dibahas bersama DPRD DKI.

"Sehingga setiap tahun staf itu banyak yang memasukkan yang penting masuk angka Rp 100 juta dulu. Toh, nanti yang penting dibahas," ujar Anies. Dengan kata lain, KUA-PPAS diserahkan ke DPRD DKI secara gelondongan.

Baca Juga: Pemprov DKI ajukan anggaran Rp 150 miliar untuk jalan berbayar

"Itu dokumen ada harus dicek manual, apakah panggung, mic, terlalu detail di level itu, ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor (karena) toh diverifikasi dan dibahas," ujar Anies.

"Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Setiap tahun muncul angka aneh-aneh," kata dia.

Anies pun memberi sinyal tidak akan terus menggunakan sistem ini. Dia ingin memakai sistem yang bisa memberi notifikasi langsung ketika ada anggaran yang tak wajar.

"Ini tinggal dibuat algoritma saja, if item-nya itu jenisnya Aibon, harganya Rp 82 miliar (padahal) sebenarnya harganya kan enggak semahal itu. Harganya Rp 20.000 atau Rp 30.000, terus totalnya mencapai puluhan miliar, pasti ada salah. Harusnya ditolak itu sama sistem," kata Anies.

Bagaimana pantau uang rakyat?

KUA-PPAS berisi rencana Pemerintah DKI dalam menggunakan uang rakyat Jakarta. Dengan demikian, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, sejatinya ini merupakan informasi publik.

Apalagi, program yang diinput ke dalam sistem ini adalah hasil dari aspirasi masyarakat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Adapun musrenbang merupakan forum bagi masyarakat menyampaikan usulan program kepada pemerintah.

Usulan tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang ada di wilayah setempat, misalnya, meminta perbaikan jalan, pembangunan jembatan, sekolah, dan lainnya.

Beberapa usulan nantinya akan masuk ke rencana anggaran Pemprov DKI dan dikerjakan pada tahun berikutnya. Musrenbang digelar di tiap kota dan kabupaten.

"Maka, seharusnya itu dipublikasikan sejak perencanaan karena prosesnya ini dimulai dari musrenbang. Masyarakat harus tahu apakah aspirasinya saat musrenbang masuk atau tidak ke rancangan anggaran," kata Gembong.

Tanpa publikasi lewat situs apbd.jakarta.go.id, masyarakat tidak bisa ikut memelototi. Tinggal terima jadi ketika perencanaan uang rakyat itu sudah disahkan.

Ketika sudah disahkan, program dalam APBD bisa dikerjakan, termasuk yang anggarannya tidak wajar. Kini harapannya tinggal ada di anggota dewan, wakil rakyat yang memiliki akses untuk melihat penyusunan anggarannya.

Mampukah benar-benar mengawasi uang rakyat Jakarta?

Penulis: Jessi Carina

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Beda Transparansi Anggaran Era Ahok dan Anies: Awalnya Bebas Diakses, Kini Harus Tunggu Sah Dulu"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 4 5 Tampilkan Semua
Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru